Powered By Blogger

Monday, September 19, 2011

Desentralisasi & Pemerintahan Daerah : Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural

Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan. DESENTRALISASI & PEMERINTAHAN DAERAH : ANTARA MODEL DEMOKRASI LOKAL & EFISIENSI STRUKTURAL. Depok : DIA FISIP UI. 2006.


KONSEP DASAR DESENTRALISASI DAN PEMERINTAHAN DAERAH

Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan, yaitu peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan.
Secara horizontal pembagian kekuasaan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan (balance of power) dalam penyelenggaraan negara antara organ yang membuat undang-undang dan peraturan perundangan lainnya (legislatif), organ yang melaksanakan undang-undang (eksekutif) dan organ yang menjadi pengawas kesesuaian antara undang-undang terhadap konstitusi dan pengawas dalam pelaksanaan undang-undang (yudikatif). Pembagian kekuasaan secara vertikal adalah konsensus untuk menciptakan keseimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Terdapat dua macam bentuk negara dalam kaitannya dengan pembagian kekuasaan secara vertikal, yaitu negara kesatuan dan negara federal. Kedua bentuk negara ini dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan kepada dimensi : (a) karakter dasar yang dimiliki oleh struktur pemerintahan regional/lokalnya; (b) proses pembentukan struktur pemerintahan regionalnya; (c) sifat hubungan antara struktur pusat dan struktur regional; (d) keberadaan konstitusi; (e) derajat kemandirian yang dimiliki oleh struktur regional.
Dalam dimensi karakter dasar yang dimiliki, pemerintahan daerah dalam negara kesatuan tidak memiliki karakter soverenitas (kedaulatan), sedangkan negara bagian dalam negara federal merupakan struktur asli yang memiliki karakter kedaulatan. Dalam dimensi proses pembentukan struktur pemerintahan, pemerintah daerah di negara kesatuan dibentuk oleh pemerintah pusat melalui undang-undang, dan dapat dimekarkan, diciutkan dan atau dibubarkan kembali melalui undang-undang. Sebaliknya, di negara federal, pemerintahan negara bagian merupakan struktur asli yang telah ada sebelum struktur federal terbentuk.
Sifat hubungan antara struktur pusat dan struktur regional/daerah dalam negara kesatuan adalah subordinatif sedangkan dalam negara federal bersifat koordinatif.
Di negara-negara kesatuan arah pergeserannya menuju ke kontinuum desentralisasi karena ternyata secara sosial politik daerah-daerah tidak siap lagi hidup dalam keseragaman (uniformitas). Di negara federal, arah pergeserannya menuju ke kontinuum sentralisasi.
Beberapa faktor yang dapat membantu menjelaskan mengapa posisi negara kesatuan dan negara federal dalam perspektif hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak lagi ekstrim, yaitu :
a)   Dalam hal pembagian kewenangan, ternyata sangat sulit untuk membagi kewenangan-kewenangan secara tegas antara pemerintah pusat (struktur federal) dengan pemerintahan daerah (negara bagian).
b)   Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan kebijakan nasional terjadi melalui kamar kedua parlemen ternyata tidak hanya menjadi monopoli negara federal.
c)    Intervensi pusat kepada pemerintahan daerah telah mengalami transformasi. Di negara federal intervensinya semakin kuat terhadap negara bagian, sedangkan di negara kesatuan memiliki kecenderungan melemah.
d)   Lembaga pengawas konstitusi (Mahkamah Konstitusi) telah berfungsi menjadi pemutus konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.   
Jika desentralisasi dan perbedaan (variety) merupakan prinsip utama yang melahirkan negara federal, maka sentralisasi dan uniformitas menjadi prinsip dasar dalam negara kesatuan.
Semakin banyak kewenangan yang bersifat mengatur dan mengurus yang dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat, maka semakin sentralistis sebuah negara.
Ada sejumlah kewenangan yang harus dilaksanakan hanya secara sentralisasi saja oleh pemerintah pusat, yang lazimnya dinamakan kewenangan klasik/kewenangan yang tabu untuk didesentralisasikan, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, justisi, moneter dan fiskal.
Beberapa pemikiran muncul untuk membedakan asas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pembagian kewenangan secara vertikal :
a)    sejarah perkembangannya yang  meliputi empat pola dasar yaitu pola Perancis, Inggris, Soviet dan tradisional;
b)   hirarki dan fungsi yaitu desentralisasi teritorial dan fungsional;
c)    masalah dan nilai orang-orang yang meneliti yaitu devolution, devolusi fungsional, organisasi kepentingan, dekonsentrasi prefektoral, dekonsentrasi ministerial, delegasi ke lembaga otonomi, philantrophy dan marketisasi;
d)   pola struktur dan fungsi administrasi yang dapat diklasifikasi lagi ke dalam local level governmental systems, partnership systems, dual systems dan integrated administrative systems.
Empat jenis desentralisasi, yaitu dekonsentrasi, devolusi, delegasi, (ketiganya dinamai Cohen dengan administrative decentralization) dan tugas pembantuan (medebewind).
Dekonsentrasi pada prinsipnya merupakan penghalusan dari sentralisasi. Cohen mendefinisikan dekonsentrasi sebagai “the transfer of authority over specified decision making, financial and management functions by administrative means to different levels under the jurisdictional authority of the central government”. Rondinelli, Nellis dan Cheema mendefinisikan dekonsentrasi sebagai penyerahan sejumlah kewenangan dan tanggung jawab administrasi kepada cabang departemen atau badan pemerintah yang lebih rendah. Definisi ini memiliki beberapa dimensi utama, yaitu : pelimpahan wewenang; pembuatan keputusan, keuangan dan fungsi manajemen; level pemerintahan yang berbeda; dalam jurisdiksi pemerintah pusat.
Dekonsentrasi melahirkan local state government atau field administration atau wilayah administrasi.
Dalam dekonsentrasi, pemain inti pemerintahan adalah pemerintah pusat dan aparat pemerintah pusat yang ada di daerah.
Dekonsentrasi pada awalnya diterapkan di sistem pemerintahan Perancis dengan prefect system (sistem prefektoral).
Dalam “integrated prefectoral system”, sektor pemerintah yang ada di pusat memiliki kewenangan pengawasan baik yang bersifat administratif maupun teknis terhadap pejabat instansi vertikal di daerah. Sedangkan dalam “unintegrated prefectoral system” sektor pemerintah yang ada di pusat hanya memiliki kewenangan pengawasan yang bersifat administratif saja, sedangkan persoalan teknis sepenuhnya menjadi kewenangan instansi vertikal di daerah.
Untuk konteks Indonesia, asas dekonsentrasi diwujudkan melalui pembentukan kantor wilayah di provinsi.  
Devolusi/local government/pemerintahan daerah merupakan desentralisasi dalam pengertian yang sempit karena didalamnya terjadi penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada tingkat pemerintahan lokal yang otonom.
Pendelegasian kewenangan dalam devolusi diatur oleh undang-undang yang memuat antara lain : (a) pembentukan dan pemberian status daerah otonom; (b) batas-batas jurisdiksi dan fungsi yang jelas; (c) transfer kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri tugas dan fungsi yang diberikan; (d) pengaturan tentang interaksi antar unit pemerintahan daerah baik secara vertikal maupun horizontal; (e) pemberian kewenangan untuk memungut beberapa penerimaan daerah seperti pajak dan retribusi daerah; dan (f) pemberian kewenangan untuk mengatur dan mengelola anggaran dan keuangan daerah.
Melalui devolusi terbentuk local self government (pemerintahan daerah sendiri).
Dalam devolusi (desentralisasi) selalu dimulai dengan pembentukan daerah otonom melalui undang-undang. Pembentukan daerah otonom disertai dengan pemberian kewenangan yang meliputi kewenangan untuk mengatur (policy making) dan kewenangan untuk mengurus (policy implementing).
Dalam devolusi kewenangan mengatur yang diberikan oleh pusat melahirkan lembaga/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Di samping membuat peraturan daerah, lembaga perwakilan rakyat daerah juga dapat memilih kepala daerah.
Tugas pembantuan (medebewind) merupakan pemberian kemungkinan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih atas untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah/pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga dari daerah yang tingkatannya lebih atas tersebut. Kewenangan yang diberikan kepada daerah adalah kewenangan yang bersifat mengurus, sedangkan kewenangan mengaturnya tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat/pemerintah atasannya.
Sumber pembiayaan tugas pembantuan bisa berasal dari APBN atau APBD pemerintah daerah yang menugaskannya.
Tujuan desentralisasi yang bersifat politis terkait erat dengan perwujudan demokrasi lokal dan penguatan partisipasi, sedangkan tujuan yang bersifat administratif terkait dengan penciptaan efisiensi dan efektivitas dalam pemerintahan dan pembangunan.
Tujuan desentralisasi menurut Smith sebagai : pendidikan politik; latihan kepemimpinan politik; stabilitas politik; kesamaan politik; akuntabilitas; daya tanggap (responsivitas); efisiensi dan efektivitas.
Tujuan utama dari desentralisasi dan eksistensi pemerintahan daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi masyarakat. Pelayanan publik tersebut disediakan oleh pemerintahan daerah dan dibiayai oleh pajak dan retribusi yang dibayarkan oleh masyarakat lokal maupun dari pembiayaan yang berasal dari pemerintah pusat.
Beberapa pelayanan publik sudah diatur oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah (statutory services). Dalam pelayanan publik yang seperti ini pemerintah daerah tidak memiliki otonomi untuk membuat policy (membuat pengaturan) dan hanya bertugas melaksanakannya, meskipun hal ini tidak berarti bahwa pemerintah daerah hanya menjadi agen dari pemerintah pusat.
Beberapa pelayanan publik dapat disediakan sendiri oleh pemerintahan daerah secara otonom (discretionary services). Dalam hal ini pemerintahan daerah memiliki diskresi yang luas untuk mengatur dan melaksanakan pelayanan publik.
Esensi dari otonomi daerah adalah kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya.
Dalam prakteknya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan daerah merupakan “lobbyism” atau “corporatism” antara politisi, birokrat, dan pengusaha.
Kaitan antara desentralisasi dan pelayanan publik : (a) Masyarakat dapat lebih mudah berpartisipasi dalam pembuatan keputusan pada tingkat lokal, karena langsung  berpengaruh terhadap masyarakat; (b) Komunikasi dan informasi antara pemerintah dan masyarakat akan lebih intens dan mudah; (c) Performance pemerintah daerah akan lebih akuntabel karena kesadaran dan kepercayaan masyarakat yang tinggi; (d) Salah satu fungsi dari desentralisasi adalah penguatan lembaga-lembaga lokal.
Dalam prakteknya, desentralisasi seringkali dilakukan dengan mempergunakan perspektif supply side atau perspektif pihak yang memberikan desentralisasi.
Pendekatan supply side dalam desentralisasi telah menyebabkan beberapa kelemahan, yaitu : (a) kesenjangan kapasitas sistem pemerintahan dan masyarakat di tingkat lokal; (b) mengurangi motivasi masyarakat untuk berpartisipasi; (c) pendekatan supply side dalam desentralisasi juga mengurangi tingkat legitimasi dan akseptansi masyarakat terhadap pemerintah daerah; (d) akibat dari poin a sampai poin c, seringkali akhir dari program desentralisasi adalah resentralisasi.
Kelemahan-kelemahan desentralisasi yang mempergunakan pendekatan supply side, telah menyebabkan perlunya melakukan rekonstruksi pemikiran desentralisasi yang berbasis kepada demand side. Sebuah pendekatan yang tidak didasarkan pada sanksi dan otoritas pemerintah pusat dan pemerintahan daerah semata, melainkan kepada pengorganisasian sendiri (self organizing), jaringan yang stabil antara institusi dan aktor-aktor di tingkat lokal. Pendekatan yang menggeser interaksi dari kekuasaan dan kontrol kepada pertukaran informasi, komunikasi dan persuasi. Model pendekatan desentralisasi yang berbasis kepada demand side akan memberikan ruang yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan Peraturan Daerah : (a) Keharusan memiliki kewenangan; (b) Kesesuaian bentuk dan jenis produk hukum; (c) Keharusan mengikuti tata cara tertentu diundangkan dalam lembaran daerah; (d) Tidak bertentangan dengan hirarki peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan/Keputusan Kepala Daerah pada prinsipnya dapat dibagi dua, yaitu Pengawasan Represif dan Pengawasan Preventif.
Proses pembuatan Peraturan Daerah pada prinsipnya terdiri dari :
a)    Proses identifikasi dan artikulasi, merupakan proses pencarian dan pemahaman kebutuhan dan masalah yang ada di lapangan yang secara potensial dapat atau harus diatur dalam Peraturan Daerah.
b)   Proses seleksi, terhadap usul Raperda dilakukan oleh DPRD.
c)    Proses sosialisasi, terhadap hasil seleksi awal disampaikan kembali kepada masyarakat dan seluruh stakeholder terkait guna mendapatkan masukan dan kritik.
d)   Proses legislasi. Setelah mendapatkan persetujuan baik dari DPRD maupun Kepala Daerah, Raperda ditetapkan oleh Kepala Daerah dan diundangkan dalam lembarand daerah.
e)    Proses implementasi dan supervisi. Dalam waktu 30 hari sejak sebuah Raperda disetujui bersama antara Kepala Daerah dan DPRD, dan Kepala Daerah belum menetapkan Peraturan Daerah tersebut, maka Peraturan Daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan dalam Lembaran Daerah.    
Secara internal tahapan Pembicaraan dalam DPRD akan meliputi hal berikut :
Ø  Tahap I, penjelasan atas Raperda oleh Kepala Daerah atau oleh Pimpinan Komisi atas nama DPRD.
Ø  Tahap II, Rapat Paripurna : pandangan umum dan jawaban oleh fraksi atau Kepala Daerah.
Ø  Tahap III, Rapat Komisi : antara komisi DPRD dan wakil Pemerintah Daerah.
Ø  Tahap IV, Rapat Paripurna : Pandangan akhir fraksi, pengambilan keputusan dan sambutan Kepala Daerah terhadap Peraturan Daerah.

Tuesday, September 13, 2011

Sistem Hukum Indonesia Terpadu

Mustafa, Bachsan. SISTEM HUKUM INDONESIA TERPADU. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 2003.


BAGIAN SATU : ILMU HUKUM


Ilmu itu dapat dianggap sebagai suatu sistem yang menghasilkan kebenaran dan seperti juga sistem-sistem yang lainnya dia mempunyai komponen-komponennya yang berhubungan satu sama lain. Komponen utama dari sistem ilmu adalah : perumusan masalah, pengamatan dan deskripsi, penjelasan, ramalan dan kontrol. Tiap-tiap komponen ini mempunyai metode pembahasan tersendiri. Apa yang sering disebut Metode Keilmuan adalah cara yang singkat dalam mendeskripsikan sistem ilmu yang menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya, beserta metode yang spesifik dari tiap-tiap komponen tersebut (Peter R. Senn).

Sebuah sistem adalah keseluruhan bagian yang saling mempengaruhi satu sama lainnya menurut suatu rencana yang telah ditentukan, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (H. Thierry).

Komponen-komponen sistem hukum terdiri dari : jiwa bangsa, struktural, substansi, dan budaya hukum.

Nilai adalah ukuran-ukuran, patokan-patokan, anggapan-anggapan, keyakinan-keyakinan yang dianut oleh orang banyak dalam lingkungan suatu kebudayaan tertentu mengenai apa yang benar, pantas, luhur, dan baik untuk dikerjakan, dilaksanakan atau diperhatikan.

Norma merupakan cara perbuatan atau kelakuan yang dibenarkan untuk mewujudkan nilai.

Hakikat hukum adalah himpunan norma, baik tertulis maupun tidak tertulis, berisikan larangan-larangan dan/atau keharusan-keharusan atau pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban disertai adanya sanksi atas pelanggarannya.

Ada empat alasan mematuhi hukum, yaitu : (a) karena hukum dirasakan sebagai peraturan yang mengikat; (b) ketenteraman dan ketertiban dalam masyarakat; (c) sanksi hukum; (d) isi hukum sesuai dengan jiwa bangsa.

Jiwa bangsa itu menentukan isi dari hukum. Dalam hal konkret sama dengan tindakan manusia yang sesuai dengan apa yang dianggap seharusnya atau patut dilakukan (E. Utrecht).

Komponen struktural berkenaan dengan  Teori Trias Politica Montesquieu, yaitu adanya badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Komponen substansi adalah produk hukum dari komponen struktural, yaitu apabila tertulis disebut undang-undang dan apabila tidak tertulis disebut konvensi.

Budaya hukum adalah sikap-sikap beserta nilai-nilai yang dipegang oleh anggota-anggota masyarakat terhadap hukum positif atau kebiasaan perilaku orang untuk mematuhi peraturan-peraturan hukum positif, baik itu undang-undang  maupun kebiasaan, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Hukum undang-undang lebih banyak memberikan kepastian hukum daripada hukum yang tidak tertulis, yang disebut hukum kebiasaan (Cicero).

Hak adalah kekuasaan dan kekuasaan ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang, artinya orang harus mengakui, menghormati dan mengindahkan kekuasaan itu.

Tiga jenis hak yang dimiliki manusia, yaitu : hak asasi manusia, hak-hak kebendaan/hak mutlak/hak absolut, dan hak perorangan/hak tagihan/hak relatif.

Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak ia ada dalam kandungan ibunya dan sepanjang perjalanan hidupnya sampai ia masuk liang lahat.

Hak kebendaan adalah hak untuk memiliki atau menguasai suatu kebendaan, baik itu benda bergerak maupun benda tidak bergerak/tetap, dan hak ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang.

Hak perorangan adalah hak seseorang tertentu untuk menuntut suatu tagihan terhadap seseorang tertentu dan hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap orang lain tertentu saja.

Kewajiban adalah keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu atas tuntutan satu orang atau lebih yang berhak.

Dalam ilmu hukum dikenal tiga macam kewajiban, yaitu kewajiban hukum, kewajiban alamiah (ex. pailit), dan kewajiban moral.

Fungsi hukum adalah memberikan hak kepada manusia yang satu dan membebankan kewajiban kepada yang lainnya. Artinya, hukum dapat memaksakan oarang yang dibebani kewajiban untu memenuhi kewajibannya atas tuntutan orang yang berhak.

Negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan, dibentuk oleh masyarakat suatu bangsa, dengan tujuan yang ditetapkan dalam undang-undang dasar negara, dimana kekuasaan negara itu dibagi-bagi secara fungsional kepada badan-badan kenegaraan yang ditetapkan dalam struktur organisasi negara tersebut.

Dalam konteksnya dengan negara, Mac Iver menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah Hukum Konstitusi/Hukum Dasar, yang apabila tertulis disebut undang-undang dasar dan apabila tidak tertulis disebut konvensi (kebiasaan-kebiasaan yang timbul dari praktek ketatanegaraan yang tidak diatur dalam undang-undang dasar).

Hukum sebagai ilmu pengetahuan mempunyai tiga fungsi utama, yaitu : menciptakan manusia yang baik secara moral, menciptakan pemerintahan yang baik, dan menciptakan masyarakat yang tertib.

Hukum sebagai norma/kaidah mempunyai tiga fungsi utama, yaitu : menjamin kepastian hukum, menjamin keadilan sosial, dan pengayoman.

Norma-norma sosial, terdiri dari : norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, norma kebiasaan, dan norma hukum.

Menurut bentuknya, hukum dibagi kedalam : hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Menurut isinya, hukum dibagi kedalam : hukum publik dan hukum privat.

Hukum dalam pelaksanaannya memerlukan kekuasaan, sedangkan kekuasaan ini sendiri batas-batasnya ditentukan oleh hukum atau dengan perkataan lain, hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman atau kesewenang-wenangan (Mochtar Kusumaatmadja).

Hakikat sumber kekuasaan adalah : wewenang resmi (formal authority); kekuatan fisik (force); kekuatan ekonomi; kejujuran dan moral yang tinggi; pengetahuan (knowledge).

Tanggung jawab artinya beban yang harus ditanggung oleh seseorang atau lebih atas perbuatan yang telah dilakukan atau atas keputusannya yang telah dikeluarkan.

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut (Pasal 1365 KUHPerdata).

Kaidah itu adalah petunjuk hidup tentang bagaimana seharusnya manusia berperilaku dalam ia berhubungan dengan manusia lainnya semasyarakat atau dalam ia berhubungan dengan pemerintah masyarakat yang bersangkutan.

Sumber hukum dalam arti materiel  adalah perasaan hukum atau keyakinan hukum atau kesadaran hukum seseorang yang menjadi kesadaran hukum masyarakat atau pula cita-cita hukum masyarakat, yang menjadi determinant materiel membentuk hukum, yang menentukan isi dari hukum.

Sumber hukum dalam arti formil, yang menjadi determinant formil membentuk hukum yang menentukan berlakunya hukum, terdiri dari : undang-undang, hukum kebiasaan, yurisprudensi, traktat, dan doktrin hukum.

Monday, September 12, 2011

Pengantar Hukum Indonesia (asas-asas hukum adat)

ASAS-ASAS HUKUM ADAT

Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan – adat kebiasaan yang mempunyai akibat hukum.

Hukum Adat merupakan terjemahan dari adatrecht yang diperkenalkan oleh                            Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam De Atjehers 1893. Penemu hukum adat adalah Prof. Cornelis van Vollenhoven (Bapak Hukum Adat), penulis buku Het Adatrecht van Nederlands Indie.

Berlakunya hukum adat tampak pada penetapan petugas hukum, seperti : putusan kepala adat, putusan hakim perdamaian desa, dsb sesuai kompetensi masing-masing.

Pedoman keputusan didasarkan pada nilai-nilai universal : asas gotong royong, fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat, asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum (musyawarah), dan asas perwakilan dan permusyawaratan.

19 lingkaran hukum adat menurut van Vollenhoven :
1.      Aceh
2.      Tanah Gayo, Alas, dan Batak beserta Nias
3.      Daerah Minangkabau beserta Mentawai
4.      Sumatera Selatan
5.      Daerah Melayu (Sumatera Timur, Jambi, dan Riau)
6.      Bangka dan Belitung
7.      Kalimantan
8.      Minahasa
9.      Gorontalo
10.  Tanah Toraja
11.  Sulawesi Selatan
12.  Kepulauan Ternate
13.  Maluku, Ambon
14.  Irian (Papua)
15.  Kepulauan Timor
16.  Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Besar)
17.  Jawa Tengah dan Jawa Timur (beserta Madura)
18.  Surakarta dan Yogyakarta
19.  Jawa Barat

Persekutuan hukum adalah kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal, serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun kekayaan immateriil.

3 struktur persekutuan hukum di Indonesia :
1.      Persekutuan Hukum Genealogis, yaitu faktor yang melandaskan pada pertalian darah satu keturunan, atau apabila keanggotaan seseorang anggota tergantung dari keturunan yang sama, misalnya daerah Toraja. Dalam hal ini terdapat 3 macam dasar pertalian keturunan, yaitu (a) pertalian darah menurut garis keturunan Bapak (patrilineal), seperti suku Batak, Nias, dan Sumba ; (b) pertalian darah menurut garis keturunan Ibu (matrilineal), seperti Minangkabau ; (c) pertalian darah menurut garis keturunan Bapak dan Ibu (Parental), seperti Jawa, Sunda, Aceh dan Dayak.
2.      Persekutuan Hukum Teritorial, yaitu faktor yang terikat pada suatu daerah tertentu, dan keanggotaan seseorang tergantung pada tempat tinggal di lingkungan daerah persekutuan itu atau bukan. Ada 3 persekutuan hukum teritorial, yaitu (a) persekutuan desa – apabila ada segolongan orang terikat pada suatu tempat kediaman, juga apabila didalamnya termasuk dukuh-dukuh yang terpencil yang tidak berdiri sendiri. Adapun para pejabat pemerintahan desa boleh dikatakan semuanya bertempat tinggal di dalam pusat kediaman itu. Contoh : desa di Jawa dan di Bali. (b) persekutuan daerah – apabila di dalam suatu daerah tertentu terletak beberapa desa yang mempunyai tata susunan dan pengurus sendiri-sendiri yang sejenis, berdiri sendiri-sendiri, tetapi semuanya merupakan bagian bawahan  dari daerah. Daerah memiliki harta benda dan menguasai hutan dan rimba atau dikelilingi tanah yang ditanami dan tanah yang ditinggal penduduk desa itu. Contoh : Kuria di Anggola dan Mandailing yang mempunyai hutan-hutan. (c) perserikatan (beberapa kampung) – apabila beberapa persekutuan kampung yang terletak berdekatan mengadakan permufakatan untuk memelihara kepentingan bersama, misalnya akan mengadakan perairan untuk memelihara keperluan bersama maka diadakan suatu badan pengurus yang bersifat kerjasama antara pengurus-pengurus desa itu. Adapun wewenang pengurus kerjasama itu tidak lebih tinggi dari pengurus desa masing-masing. Kekuasaan tertinggi terhadap tanah-tanah di dalam daerah desa/kampung itu ada pada tangan pengurus desa/kampung yang bersangkutan. Contoh : Perserikatan Huta-huta di suku Batak.
3.      Persekutuan Hukum Genealogis-Teritorial, yaitu apabila keanggotaan persekutuan didasarkan pada satu kesatuan keturunan, sekaligus juga berdiam pada daerah yang bersangkutan. Persekutuan ini dibagi dalam 5 jenis, yaitu (a) suatu daerah/kampung didiami hanya oleh satu bagian klan – misal di pedalaman pulau-pulau Enggano, Buru, Seram, dan Flores (b) dalam suatu daerah tertentu semula didiami oleh satu marga, kemudian terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk menjadi warga badan persekutuan hutan daerah itu – misal daerah Tapanuli (c) dua klan yang saling bergabung disebabkan oleh yang semula ditaklukkan oleh klan yang datang kemudian. Klan yang asli tetap menguasai tanah-tanah daerah itu, sedangkan kekuasaan dipegang oleh klan yang baru – misal Sumba Tengah dan Sumba Timur (d) dalam suatu daerah semua golongan berkedudukan sama dan merupakan badan persekutuan teritorial (Nagari). Nagari itu terbagi dalam daerah-daerah golongan dan tiap golongan mempunyai daerah sendiri – misal beberapa nagari di Minangkabau dan marga di Bengkulu (e) suatu nagari berdiam beberapa klan yang tidak bertalian famili – misal nagari di Minangkabau dan daerah Rejang (Bengkulu)

Sistem perkawinan adat :
1.      Sistem endogami – orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku atau keluarganya sendiri. Contoh : Toraja.
2.      Sistem eksogami – orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya. Contoh : Daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Sumatera Selatan, Minangkabau, Buru dan Seram.
3.      Sistem eleutherogami – tidak mengenal larangan atau keharusan seperti halnya kedua sistem di atas. Larangan yang ada biasanya menyangkut masalah nasab (keturunan paling dekat) dan musyawarah (pariparan). Contoh : Aceh, Sumatera Timur, Bangka, Belitung, Kalimantan, Minahasa, Ternate, Sulawesi Selatan, Papua, Timor, Bali, Lombok, dan seluruh Jawa dan Madura.

Sistem perkawinan tidak dapat dipisahkan dengan sifat kekeluargaan. 3 susunan kekeluargaan di Indonesia :
1.      Susunan kekeluargaan patrilineal. Sistem ini menggunakan bentuk perkawinan, yaitu kawin jujur. Pemberian jujur oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dimaksudkan sebagai lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si isteri dengan orang tuanya, nenek moyangnya, saudara sekandung, serta kerabat persekutuannya. Si isteri masuk dalam lingkungan keluarga suaminya. Misalnya Tapanuli.
2.      Susunan kekeluargaan matrilineal. Sistem ini menggunakan bentuk perkawinan semendo, yaitu suami tetap masuk pada keluarganya sendiri, tetapi dapat bergaul dengan keluarga isterinya sebagai urang semendo. Namun anak-anak keturunannya masuk pada keluarga isteri, dan ayah pada hakikatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
3.      Susunan kekeluargaan parental. Pada sistem ini, kedua belah pihak dapat masuk menjadi anggota keluarga keduanya, sehingga dapat dikatakan masing-masing mempunyai 2 keluarga, yaitu kerabat suami dan kerabat isteri.

Hukum adat waris adalah norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan, baik yang materiil maupun immateriil yang dapat diserahkan kepada keturunannya, serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara, dan proses peralihannya.

3 sistem kewarisan adat :
1.      INDIVIDUAL cirinya adalah harta peninggalan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli waris. Misalnya dalam masyarakat bilateral Jawa.
2.      KOLEKTIF cirinya adalah harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam badan hukum untuk harta tersebut, disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-bagikan. Misalnya pada masyarakat matrilineal Minangkabau.
3.      MAYORAT. Cirinya adalah harta peninggalan diwariskan keseluruhannya (sebagian besar sejumlah harta pokok dari satu keluarga) pada seorang anak saja. Misalnya : di Bali terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di tanah Semendo di Sumatera Selatan yang terdapat hak mayorat anak perempuan tertua.

Hukum tanah adalah kaidah-kaidah yang berkenaan dengan peraturan tanah, dalam hal penetapan hak, pemeliharaan, pemindahan hak, dan sebagainya.

Kaidah pokok > hak ulayat (beschikkingrecht) > van Vollenhoven > hak pertuanan > arti keluar dan kedalam

Hak keluar berarti masyarakat yang mempunyai hak itu dapat menolak orang lain berbuat demikian. Hak kedalam berarti masyarakat itu mengatur pemungutan hasil oleh anggota-anggotanya, berdasarkan atas hak dari masyarakat secara bersama dan agar masing-masing anggota mendapatkan bagian yang sah.

Dalam hukum tanah, perjanjian jual beli dapat mengandung 3 maksud, yaitu :
1.      Menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran tunai sejumlah uang sedemikian rupa, sehingga orang yang menyerahkan tetap ada hak atas kembalinya tanah itu kepadanya dengan jalan membayar kembali sejumlah uang yang sama. Di Minangkabau disebut menggadai, di Jawa disebut adol sende, di Sunda disebut ngajual akad.
2.      Menyerahkan tanah untuk menerima tunai pembayaran uang tanpa hak menebusnya. Jadi untuk selama-lamanya. Di Jawa-adol plas, runtumurun, pati bogor ;  Kalimantan-menjual jaja.
3.      Menyerahkan tanah untuk menerima tunai pembayaran uang dengan janji bahwa tanah akan kembali lagi kepada pemiliknya tanpa perbuatan hukum lagi, yaitu sesudah berlaku beberapa tahun panenan (menjual tahunan). Di Jawa disebut adol ayodan.

Pengantar Hukum Indonesia (pengantar hukum pajak)

PENGANTAR HUKUM PAJAK
Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan negara. Baru setelah terbentuknya negara-negara nasional dan tercapainya pemisahan antara rumah tangga negara dan rumah tangga pribadi raja pada akhir abad pertengahan, pajak mendapat tempat yang lebih mantap di antara pendapatan negara. Sehubungan dengan itu maka pemberian yang sifatnya sukarela ini berubah menjadi pemberian yang ditetapkan secara sepihak oleh negara dan dapat dipaksakan. 
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Pajak memiliki ciri-ciri : (a) dipungut berdasarkan ketentuan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya; (b) dalam pembayaran tidak dapat ditunjukkan kontraprestasi individual oleh pemerintah; (c) dipungut oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah; (d) digunakan untuk pengeluaran pemerintah, bila pemasukannya surplus digunakan untuk membiayai public investment; (e) dapat juga mempunyai tujuan yang tidak budgeter tetapi bertujuan mengatur.
Retribusi adalah pungutan-pungutan sebagai ganti jasa, yang dilakukan oleh penguasa kepada kelompok orang tertentu yang meminta jasa. Contoh pembayaran aliran listrik, air minum, dan telepon.
Sumbangan adalah pemungutan yang dilakukan oleh pemerintah kepada sekelompok orang tertentu dengan kontraprestasi langsung dari pemerintah yang diberikan kepada sekelompok orang tersebut. Contoh pajak kendaraan bermotor, setoran wajib pembangunan dan pemeliharaan prasarana daerah.
Dari rumusan pengertian tentang pajak, retribusi dan sumbangan dapat diketahui perbedaan ketiga hal tersebut, yaitu :

PAJAK
RETRIBUSI DAN SUMBANGAN
1.        Pemungutan dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
2.       Kontraprestasi dari pemerintah tidak secara langsung dan individual.
3.       Pemungutan dapat dilakukan dengan paksa (bila perlu).
4.      Sanksi bagi wajib pajak yang tidak membayar dapat berupa denda dan/atau pidana.
5.       Sifatnya berlaku umum, artinya berlaku bagi setiap orang yang memenuhi syarat untuk dapat dikenakan pajak.
6.      Unsur paksaannya bersifat pidana dan administratif.
1.        Pemungutan dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah.
2.       Kontraprestasi dari pemerintah secara langsung dan individual.
3.       Pemungutan dilakukan tidak dengan paksaan.
4.      Sanksi bagi mereka yang tidak membayar, tidak menikmati kontraprestasi dari pemerintah.
5.       Sifatnya berlaku khusus, artinya hanya berlaku bagi orang-orang tertentu yang langsung ditunjuk.
6.      Unsur paksaannya bersifat ekonomis.

Persamaan pajak, retribusi dan sumbangan adalah bahwa bagi pelanggarnya ada akibat hukumnya.
Hukum pajak adalah keseluruhan peraturan yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengambil sebagian kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara. Dengan perkataan lain, hukum pajak menerangkan : subjek pajak; objek pajak; kewajiban wajib pajak terhadap pemerintah; timbulnya dan hapusnya hutang pajak; cara penagihan pajak; cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak.
Hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik (Hukum Tata Usaha Negara/Hukum Administrasi Negara) yang mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang atau badan hukum yang didaftar sebagai wajib pajak. Hukum pajak memuat unsur-unsur hukum tata negara, hukum pidana dan hukum acara pidana.
Landasan filosofis pemungutan pajak didasarkan atas pendekatan Benefit Approach atau Pendekatan Manfaat. Bentuk manfaat yang bisa dinikmati oleh warga negara adalah kesejahteraan; pelayanan umum; perlindungan hukum; kebebasan; penggunaan fasilitas umum.
Ada 5 teori pemungutan pajak, yaitu :
1.    Teori Asuransi. Menurut teori ini, negara berhak memungut pajak dari rakyatnya karena negara wajib melindungi rakyat dengan segala kepentingannya. Sebaliknya rakyat wajib membayar pajak, seolah-olah sebagai premi pada perjanjian asuransi.
2.  Teori Kepentingan. Pemungutan pajak didasarkan pada kepentingan orang terhadap negara. Makin banyak membutuhkan maka makin besar pula pajaknya.
3.   Teori Gaya Pikul. Mengajarkan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan kekuatan membayar dari si wajib pajak. Gaya pikul ini dipengaruhi oleh bermacam-macam komponen terutama : pendapatan; kekayaan; dan susunan dari keluarga wajib pajak dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keadaannya.
4.   Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Bakti). Berlawanan dengan ketiga teori di atas bahwa negara dibentuk karena ada persekutuan individu. Oleh karena itu, individu harus membaktikan dirinya pada negara berupa pembayaran pajak. Dasar hukum pajak adalah terletak dalam hubungan rakyat dengan negara.
5.   Teori Asas Gaya Beli. Mengajarkan bahwa fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat disamakan dengan POMPA, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat dengan tujuan untuk memelihara hidup masyarakat atau untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Prof. W.J. de Langen memberikan arti dari gaya pikul sebagai kekuatan untuk membayar uang kepada negara, jadi untuk membayar pajak, setelah dikurangi dengan minimum kehidupan. Minimum kehidupan adalah hal yang pokok dan tidak bisa              ditunda-tunda, seperti : makan, pakaian, perumahan dan biaya pendidikan.
Suatu pemungutan pajak harus dilandasi dengan asas-asas yang merupakan ukuran untuk menentukan adil tidaknya suatu pemungutan pajak. Dalam pemungutan pajak dikenal beberapa asas, yaitu :
1.    Asas Wilayah (teritorial). Pemungutan pajak didasarkan atas domisili di mana seseorang bertempat tinggal.
2.   Asas Kebangsaan (Nasionalitas). Asas ini berarti di mana pun seseorang berada dapat ditunjuk sebagai wajib pajak, apakah di dalam atau di luar negeri.
3.   Asas Sumber. Pemungutan pajak didasarkan pada adanya sumber di suatu negara. Negara yang berhak memungut pajak adalah negara di mana sumber itu berada.
4.  Asas Umum. Bahwa pemungutan pajak hendaknya menganut asas keadilan.
5.   Asas Yuridis. Asas ini mengatakan bahwa sudah seharusnya Hukum Pajak dapat memberikan jaminan hukum dan harus dapat mewujudkan keadilan, baik untuk negara maupun warganya.
6.   Asas Ekonomis. Pemungutan pajak harus bertitik tolak dari kepentingan umum, tidak boleh memerosotkan perekonomian masyarakat.
7.   Asas Finansial. Biaya-biaya penetapan dan pemungutan pajak harus sekecil mungkin bila dibandingkan dengan hasil pemungutan pajak.
Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations mengemukakan 4 asas pemungutan pajak yang lazim dikenal dengan “four canons taxation” atau sering disebut “the four maxims” dengan uraian sebagai berikut :
1.    Equality (asas persamaan), menekankan bahwa pada warga negara atau wajib pajak tiap negara seharusnya memberikan sumbangannya kepada negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing, yaitu sehubungan dengan keuntungan yang mereka terima di bawah perlindungan negara.
2.   Certainty (asas kepastian), menekankan bahwa bagi wajib pajak harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah, dan cara pembayaran pajak.
3.   Conveniency of Payment (asas menyenangkan), pajak seharusnya dipungut pada waktu dengan cara yang paling menyenangkan bagi para wajib pajak.
4.   Low Cost of Collection (asas efisiensi), menekankan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih dari hasil pajak yang akan diterima.
W.J. de Langen menyebutkan 7 asas pokok perpajakan :
1.    Asas Kesamaan, seseorang dalam keadaan yang sama hendaknya dikenakan pajak yang sama.
2.   Asas Daya-Pikul, setiap wajib pajak hendaknya terkena beban pajak yang sama.
3.   Asas Keuntungan Istimewa, seseorang yang mendapatkan keuntungan istimewa hendaknya dikenakan pajak istimewa pula.
4.   Asas Manfaat, pengenaan pajak oleh pemerintah didasarkan atas alasan bahwa masyarakat menerima manfaat barang-barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah.
5.   Asas Kesejahteraan, dengan adanya tugas pemerintah yang pada satu pihak memberikan atau menyediakan barang-barang dan jasa bagi masyarakat dan pada lain pihak menarik pungutan-pungutan untuk membiayai kegiatan pemerintah tersebut, akan tetapi sebagai keseluruhan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
6.   Asas Keringanan Beban, meskipun pengenaan pungutan merupakan beban masyarakat atau perorangan dan betapapun tingginya kesadaran warga negara, akan tetapi hendaknya diusahakan bahwa beban tersebut sekecil-kecilnya.
7.   Asas Keseimbangan, dalam melaksanakan berbagai asas tersebut yang mungkin saling bertentangan, akan tetapi hendaknya selalu diusahakan sebaik mungkin.
Adolf Wagner mengemukakan 4 postulat untuk terpenuhinya pajak ideal :
1.    Asas Politik Finansial
·    Perpajakan hendaknya menghasilkan jumlah penerimaan yang memadai, dalam arti cukup untuk menutup biaya pengeluaran negara.
·    Pajak hendaknya bersifat dinamis, artinya penerimaan negara dari pajak diharapkan selalu meningkat mengingat kebutuhan penduduknya selalu meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
2.   Asas Ekonomis
Pemilihan mengenai perpajakan yang sangat tepat apakah hanya dikenakan pada pendapatan ataukah juga terhadap modal, dan atau pengeluaran.
3.   Asas Keadilan
·   Pajak hendaknya bersifat umum/universal/tidak diskriminatif, seseorang dalam keadaan yang sama hendaknya diperlakukan yang sama.
·   Kesamaan beban, setiap orang hendaknya dikenakan beban pajak kira-kira sama.
4.   Asas Administrasi
·    Kepastian perpajakan, pemungutan pajak harus jelas disebutkan siapa atau apa yang dikenakan pajak, berapa besarnya, bagaimana cara pembayarannya, bukti pembayarannya, apa sanksinya jika terlambat membayar dan sebagainya.
·    Keluwesan dalam penagihan, harus melihat keadaan pembayar pajak.
·    Ongkos pemungutan pajak hendaknya diusahakan sekecil-kecilnya.
5.  Asas Yuridis atau Asas Hukum
·    Kejelasan UU Perpajakan
·    Kata-kata dalam undang-undang hendaknya tidak bermakna ganda.
Agar suatu UU Pajak dipandang adil, maka syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan UU Pajak adalah sebagai berikut :
a.   Syarat Yuridis. Di mana pembayaran pajak harus seimbang dengan kekuatan membayar wajib pajak.
b.  Syarat Ekonomis. Yaitu pungutan pajak janganlah mengganggu kehidupan ekonomis dari si wajib pajak.
c.   Syarat Financiil. Di mana wajib pajak yang dipungut cukup untuk pengeluaran negara dan hendaknya pemungutan pajak tidak memakan biaya yang terlalu besar.
UU Pajak Nasional terdiri dari : (1) UU 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; (2) UU 17/2000 tentang Pajak Penghasilan; (3) UU 18/2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Tujuan UU Pajak Nasional : (a) Meningkatkan sumber penerimaan negara dalam rangka pembiayaan pembangunan; (b) Menggerakkan dan meningkatkan partisipasi semua lapisan wajib pajak; (c) Penyederhanaan struktur pajak yang berlaku agar mudah pelaksanaannya, dan penyerapannya akan menjadi lebih adil dan merata.
Dalam rangka pembangunan, pajak mempunyai 2 fungsi, yaitu fungsi budgeter dan fungsi mengatur. Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik. Pajak-pajak di sini merupakan suatu sumber pemasukan uang sebanyak-banyaknya di dalam kas negara, yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin negara dan sisanya digunakan untuk membiayai investasi pemerintah. Fungsi mengaturnya terletak di sektor swasta, pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu di luar bidang keuangan, yang ditujukan terhadap sektor swasta. Pada umumnya fungsi mengatur dijalankan sebagai tujuan tambahan setelah fungsi budgeter, biasanya ditujukan kepada sektor ekonomi, sektor sosial, dan sektor moneter.
Prinsip-prinsip dalam sistem pemungutan pajak menurut UU Pajak Nasional :               (a) Bahwa pemungutan pajak berdasarkan UU Pajak Nasional merupakan perwujudan pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung melaksanakan kewajiban perpajakan yang sangat diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan; (b) Tanggung jawab pelaksanaan pajak berada pada anggota wajib pajak sendiri; (c) Wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang, sehingga dengan cara ini kejujuran dari wajib pajak sangat diperlukan dalam rangka pemungutan pajak.
Pada umumnya negara mempunyai sumber-sumber penghasilan yang terdiri dari : (a) Bumi, air dan kekayaan alam; (b) Pajak-pajak, bea dan cukai; (c) Penerimaan negara, bukan pajak; (d) Hasil perusahaan negara; (e) Sumber-sumber lain, seperti pencetakan uang dan pinjaman.
Pasal 33 UUD 1945 menentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat                    sebesar-besarnya. UUPA Pasal 1 ayat 2 menegaskan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Yang termasuk dalam pengertian menguasai adalah : mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.  Negara hanya menguasai dan tidak dapat menjual tanah kepada pihak swasta.
Pajak-pajak, Bea dan Cukai merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah, yang diharuskan oleh undang-undang dan dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat jasa timbal yang langsung dapat ditunjuk, untuk membiayai                           pengeluaran-pengeluaran negara.
Bea dibagi dalam bea masuk dan bea keluar. Bea masuk ialah bea yang dipungut dari jumlah harga barang yang dimasukkan ke daerah pabean dengan maksud untuk dipakai, dan dikenakan bea menurut tarif tertentu, yang penyelenggaraannya diatur dan ditetapkan dengan undang-undang dan Keputusan Menteri Keuangan. Bea keluar ialah bea yang dipungut dari jumlah harga barang-barang yang tertentu yang dikirim keluar daerah Indonesia, dan dihitung berdasarkan tarif tertentu, hal mana diatur dan ditetapkan dalam undang-undang.
Daerah pabean ialah daerah yang ditentukan batas-batasnya oleh pemerintah, dan batas-batas itu digunakan sebagai garis untuk memungut bea-bea. Cukai ialah pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu berdasarkan tarif yang sudah ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu.
Penjelasan Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 menegaskan bahwa segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat seperti pajak dan lain-lain, harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu dengan persetujuan DPR. Dalam UU 20/1997 terdapat 7 jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak :
1.    Penerimaan yang bersumber dari Pengelolaan Dana Pemerintah, yang terdiri dari : Penerimaan Jasa Giro; Penerimaan Sisa Anggaran Pembangunan (SIAP) dan Sisa Anggaran Rutin (SIAR).
2.   Penerimaan dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam, yang terdiri dari : Royalti di bidang Perikanan; Royalti di bidang Kehutanan; Royalti di bidang Pertambangan, kecuali Minyak dan Gas Bumi (MIGAS) karena sudah diatur oleh UU Pajak Penghasilan.
Royalti adalah pembayaran yang diterima oleh negara sehubungan dengan pemberian izin atau fasilitas tertentu dari negara kepada pihak lain untuk memanfaatkan atau mengolah kekayaan negara.
3.   Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, yang terdiri dari : bagian laba pemerintah; hasil penjualan saham pemerintah; deviden.
Deviden adalah pembayaran berupa keuntungan yang diterima oleh negara atau orang/badan tertentu sehubungan dengan keikutsertaan mereka selaku pemegang saham dalam suatu perusahaan.
4.   Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah, yang terdiri dari : pelayanan pendidikan; pelayanan kesehatan; pemberian hak paten, hak cipta dan hak merek; pemberian visa dan paspor, termasuk paspor haji.
5.   Penerimaan Berdasarkan Putusan Pengadilan, yang terdiri dari : lelang barang; denda; hasil rampasan yang diperoleh dari hasil kejahatan.
6.   Penerimaan lainnya yang diatur dengan undang-undang tersendiri.
PNBP merupakan penerimaan dari kementerian dan lembaga negara yang bersifat insidentil dan pada umumnya belum diatur dalam undang-undang atau PERDA. Sistem pemungutan PNBP ditetapkan oleh instansi pemerintah dan dihitung sendiri oleh wajib pajak.
Negara sebagai badan hukum publik dapat juga ikut dalam lapangan perekonomian. Laba yang diperoleh adalah pendapatan negara yang dimasukkan dalam anggaran pendapatan negara. Yang tergolong dalam perusahaan negara adalah semua perusahaan yang modalnya merupakan kekayaan negara Republik Indonesia dengan tidak melihat bentuknya.
Yang termasuk dalam sumber-sumber lain penghasilan negara ialah pencetakan uang, dan pinjaman negara baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Pinjaman dari dalam negeri dibedakan dalam pinjaman jangka pendek dan pinjaman jangka panjang. Pinjaman jangka pendek dengan cara pemberian uang muka oleh Bank Indonesia kepada pemerintah sebelum penerimaan negara masuk kas negara. Pinjaman jangka panjang dilaksanakan dengan cara menerbitkan uang kertas berharga (obligasi) berjangka waktu.
Pinjaman luar negeri terdiri dari bantuan program dan bantuan proyek. Bantuan program yaitu bantuan keuangan yang diterima dari luar negeri berupa devisa kredit. Bantuan proyek yaitu bantuan kredit yang diterima pemerintah dari negara donor berupa peralatan dan  mesin-mesin untuk membangun proyek tertentu. Sebagian dari bantuan proyek ini diberikan dalam bentuk jasa konsultan dan tenaga teknisi yang membantu merencanakan pembangunan proyek.
Pajak dapat dibedakan menjadi beberapa macam :
1.  Menurut Sifatnya
a.   Pajak kekayaan dan pajak pendapatan adalah pajak atas bagian-bagian dari kekayaan seseorang yang meliputi pajak kekayaan itu sendiri dan pajak verponding bangunan. Pajak pendapatan meliputi pajak pendapatan, pajak upah, dan pajak verponding bukan bangunan.
b.   Pajak lalu lintas kekayaan meliputi bea balik nama karena perjanjian penyerahan atau atas akta mengenai kapal, bea pemindahan karena hibah, bea materai modal, bea materai atas nota-nota efek, pajak peredaran/penjualan. Pajak lalu lintas barang, meliputi bea masuk dan bea keluar, bea statistik, upah lelang.
c.   Pajak yang bersifat kebendaan : pajak rumah tangga, pajak senjata api, pajak anjing, bea tetap karena mempunyai izin penyelidikan atas konsesi tambang, pajak kendaraan bermotor.
d.   Pajak atas pemakaian : cukai-cukai, pajak potong hewan, pajak lotere.
2.  Menurut Cirinya
a.   Pajak subjektif dan pajak objektif
Pajak subjektif adalah pajak yang ditentukan berdasarkan keadaan pribadi wajib pajak dikaitkan dengan keadaan materiilnya atau daya pikulnya. Contoh : Pajak Pendapatan.
Pajak objektif adalah pajak yang ditentukan berdasarkan objeknya yang dapat menimbulkan kewajiban membayar pajak bagi subjek.
Wajib pajak adalah orang atau badan hukum yang berhubungan dengan objek-objek yang menimbulkan kewajiban bayar pajak tersebut.
Contoh : pajak kekayaan; pajak pendapatan; pajak barang impor; pajak bumi dan bangunan; pajak senjata api.
b.   Pajak langsung dan pajak tidak langsung
Pajak langsung adalah pajak yang dipungut secara periodik menurut daftar piutang pajak, sesuai dengan ketetapan pajak. Contoh : pajak pendapatan; pajak kekayaan; pajak bumi dan bangunan; pajak perseroan.
Pajak tidak langsung adalah pajak yang dipungut kalau ada suatu peristiwa atau perbuatan tertentu. Pajak ini tidak dipungut secara berkala, tetapi hanya dipungut pada waktu terjadi suatu peristiwa atau perbuatan tertentu. Contoh : bea balik nama; bea materai; bea masuk barang.
c.   Sumbangan dan retribusi
Sumbangan adalah pungutan-pungutan sebagai ganti jasa atau ganti kerugian yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.  Sumbangan mirip dengan retribusi. Bedanya terletak pada sekelompok orang yang dipungut sumbangan.
Sumbangan >> pembayar sumbangan hanya segolongan tertentu dari masyarakat. Contohnya pajak kendaraan bermotor.
Retribusi >> prestasi kembali langsung dapat dinikmati. Contohnya pembayaran listrik, PAM.
d.  Pajak umum dan pajak daerah
Pajak umum dapat diartikan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, disebut juga pajak negara. Sumbernya tidak terbatas dan penggunaannya adalah untuk pengeluaran umum, baik untuk pemerintah pusat maupun untuk pemerintah daerah. Contohnya pajak perorangan; pajak kebendaan; pajak kekayaan; pajak langsung; pajak tidak langsung.
Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah untuk membiayai rumah tangga daerah. Objek yang dikenakan pajak daerah bersifat terbatas, sebab objek yang telah dikenakan pajak negara tidak diperbolehkan dikenakan pajak daerah, tetapi daerah dapat mengenakan tambahan. Contohnya pajak pertunjukkan; pajak mendirikan perusahaan; pajak reklame; pajak kendaraan bermotor; pajak untuk menangkap ikan dalam wilayah daerah yang bersangkutan.
Subjek pajak adalah orang pribadi dan badan yang menurut UU Perpajakan dinyatakan sebagai subjek hukum yang dapat dikenakan pajak.
Subjek pajak penghasilan : a) orang pribadi; b) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; c) badan, yaitu sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi PT, CV, BUMN, BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, yayasan dan bentuk badan lainnya; d) Bentuk Usaha Tetap, bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : tempat kedudukan; cabang perusahaan; kantor perwakilan; gedung kantor; pabrik; bengkel; pertambangan dan penggalian sumber alam wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk ekplorasi pertambangan; perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, kehutanan; proyek konstruksi instalasi atau proyek perakitan; orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia.
Tidak termasuk subjek pajak penghasilan : a) badan perwakilan negara asing; b) pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing; c) organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat : Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; tidak menjalankan usaha kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.