Powered By Blogger

Monday, September 19, 2011

Desentralisasi & Pemerintahan Daerah : Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural

Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan. DESENTRALISASI & PEMERINTAHAN DAERAH : ANTARA MODEL DEMOKRASI LOKAL & EFISIENSI STRUKTURAL. Depok : DIA FISIP UI. 2006.


KONSEP DASAR DESENTRALISASI DAN PEMERINTAHAN DAERAH

Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan, yaitu peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan.
Secara horizontal pembagian kekuasaan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan (balance of power) dalam penyelenggaraan negara antara organ yang membuat undang-undang dan peraturan perundangan lainnya (legislatif), organ yang melaksanakan undang-undang (eksekutif) dan organ yang menjadi pengawas kesesuaian antara undang-undang terhadap konstitusi dan pengawas dalam pelaksanaan undang-undang (yudikatif). Pembagian kekuasaan secara vertikal adalah konsensus untuk menciptakan keseimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Terdapat dua macam bentuk negara dalam kaitannya dengan pembagian kekuasaan secara vertikal, yaitu negara kesatuan dan negara federal. Kedua bentuk negara ini dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan kepada dimensi : (a) karakter dasar yang dimiliki oleh struktur pemerintahan regional/lokalnya; (b) proses pembentukan struktur pemerintahan regionalnya; (c) sifat hubungan antara struktur pusat dan struktur regional; (d) keberadaan konstitusi; (e) derajat kemandirian yang dimiliki oleh struktur regional.
Dalam dimensi karakter dasar yang dimiliki, pemerintahan daerah dalam negara kesatuan tidak memiliki karakter soverenitas (kedaulatan), sedangkan negara bagian dalam negara federal merupakan struktur asli yang memiliki karakter kedaulatan. Dalam dimensi proses pembentukan struktur pemerintahan, pemerintah daerah di negara kesatuan dibentuk oleh pemerintah pusat melalui undang-undang, dan dapat dimekarkan, diciutkan dan atau dibubarkan kembali melalui undang-undang. Sebaliknya, di negara federal, pemerintahan negara bagian merupakan struktur asli yang telah ada sebelum struktur federal terbentuk.
Sifat hubungan antara struktur pusat dan struktur regional/daerah dalam negara kesatuan adalah subordinatif sedangkan dalam negara federal bersifat koordinatif.
Di negara-negara kesatuan arah pergeserannya menuju ke kontinuum desentralisasi karena ternyata secara sosial politik daerah-daerah tidak siap lagi hidup dalam keseragaman (uniformitas). Di negara federal, arah pergeserannya menuju ke kontinuum sentralisasi.
Beberapa faktor yang dapat membantu menjelaskan mengapa posisi negara kesatuan dan negara federal dalam perspektif hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak lagi ekstrim, yaitu :
a)   Dalam hal pembagian kewenangan, ternyata sangat sulit untuk membagi kewenangan-kewenangan secara tegas antara pemerintah pusat (struktur federal) dengan pemerintahan daerah (negara bagian).
b)   Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan kebijakan nasional terjadi melalui kamar kedua parlemen ternyata tidak hanya menjadi monopoli negara federal.
c)    Intervensi pusat kepada pemerintahan daerah telah mengalami transformasi. Di negara federal intervensinya semakin kuat terhadap negara bagian, sedangkan di negara kesatuan memiliki kecenderungan melemah.
d)   Lembaga pengawas konstitusi (Mahkamah Konstitusi) telah berfungsi menjadi pemutus konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.   
Jika desentralisasi dan perbedaan (variety) merupakan prinsip utama yang melahirkan negara federal, maka sentralisasi dan uniformitas menjadi prinsip dasar dalam negara kesatuan.
Semakin banyak kewenangan yang bersifat mengatur dan mengurus yang dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat, maka semakin sentralistis sebuah negara.
Ada sejumlah kewenangan yang harus dilaksanakan hanya secara sentralisasi saja oleh pemerintah pusat, yang lazimnya dinamakan kewenangan klasik/kewenangan yang tabu untuk didesentralisasikan, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, justisi, moneter dan fiskal.
Beberapa pemikiran muncul untuk membedakan asas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pembagian kewenangan secara vertikal :
a)    sejarah perkembangannya yang  meliputi empat pola dasar yaitu pola Perancis, Inggris, Soviet dan tradisional;
b)   hirarki dan fungsi yaitu desentralisasi teritorial dan fungsional;
c)    masalah dan nilai orang-orang yang meneliti yaitu devolution, devolusi fungsional, organisasi kepentingan, dekonsentrasi prefektoral, dekonsentrasi ministerial, delegasi ke lembaga otonomi, philantrophy dan marketisasi;
d)   pola struktur dan fungsi administrasi yang dapat diklasifikasi lagi ke dalam local level governmental systems, partnership systems, dual systems dan integrated administrative systems.
Empat jenis desentralisasi, yaitu dekonsentrasi, devolusi, delegasi, (ketiganya dinamai Cohen dengan administrative decentralization) dan tugas pembantuan (medebewind).
Dekonsentrasi pada prinsipnya merupakan penghalusan dari sentralisasi. Cohen mendefinisikan dekonsentrasi sebagai “the transfer of authority over specified decision making, financial and management functions by administrative means to different levels under the jurisdictional authority of the central government”. Rondinelli, Nellis dan Cheema mendefinisikan dekonsentrasi sebagai penyerahan sejumlah kewenangan dan tanggung jawab administrasi kepada cabang departemen atau badan pemerintah yang lebih rendah. Definisi ini memiliki beberapa dimensi utama, yaitu : pelimpahan wewenang; pembuatan keputusan, keuangan dan fungsi manajemen; level pemerintahan yang berbeda; dalam jurisdiksi pemerintah pusat.
Dekonsentrasi melahirkan local state government atau field administration atau wilayah administrasi.
Dalam dekonsentrasi, pemain inti pemerintahan adalah pemerintah pusat dan aparat pemerintah pusat yang ada di daerah.
Dekonsentrasi pada awalnya diterapkan di sistem pemerintahan Perancis dengan prefect system (sistem prefektoral).
Dalam “integrated prefectoral system”, sektor pemerintah yang ada di pusat memiliki kewenangan pengawasan baik yang bersifat administratif maupun teknis terhadap pejabat instansi vertikal di daerah. Sedangkan dalam “unintegrated prefectoral system” sektor pemerintah yang ada di pusat hanya memiliki kewenangan pengawasan yang bersifat administratif saja, sedangkan persoalan teknis sepenuhnya menjadi kewenangan instansi vertikal di daerah.
Untuk konteks Indonesia, asas dekonsentrasi diwujudkan melalui pembentukan kantor wilayah di provinsi.  
Devolusi/local government/pemerintahan daerah merupakan desentralisasi dalam pengertian yang sempit karena didalamnya terjadi penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada tingkat pemerintahan lokal yang otonom.
Pendelegasian kewenangan dalam devolusi diatur oleh undang-undang yang memuat antara lain : (a) pembentukan dan pemberian status daerah otonom; (b) batas-batas jurisdiksi dan fungsi yang jelas; (c) transfer kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri tugas dan fungsi yang diberikan; (d) pengaturan tentang interaksi antar unit pemerintahan daerah baik secara vertikal maupun horizontal; (e) pemberian kewenangan untuk memungut beberapa penerimaan daerah seperti pajak dan retribusi daerah; dan (f) pemberian kewenangan untuk mengatur dan mengelola anggaran dan keuangan daerah.
Melalui devolusi terbentuk local self government (pemerintahan daerah sendiri).
Dalam devolusi (desentralisasi) selalu dimulai dengan pembentukan daerah otonom melalui undang-undang. Pembentukan daerah otonom disertai dengan pemberian kewenangan yang meliputi kewenangan untuk mengatur (policy making) dan kewenangan untuk mengurus (policy implementing).
Dalam devolusi kewenangan mengatur yang diberikan oleh pusat melahirkan lembaga/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Di samping membuat peraturan daerah, lembaga perwakilan rakyat daerah juga dapat memilih kepala daerah.
Tugas pembantuan (medebewind) merupakan pemberian kemungkinan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih atas untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah/pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga dari daerah yang tingkatannya lebih atas tersebut. Kewenangan yang diberikan kepada daerah adalah kewenangan yang bersifat mengurus, sedangkan kewenangan mengaturnya tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat/pemerintah atasannya.
Sumber pembiayaan tugas pembantuan bisa berasal dari APBN atau APBD pemerintah daerah yang menugaskannya.
Tujuan desentralisasi yang bersifat politis terkait erat dengan perwujudan demokrasi lokal dan penguatan partisipasi, sedangkan tujuan yang bersifat administratif terkait dengan penciptaan efisiensi dan efektivitas dalam pemerintahan dan pembangunan.
Tujuan desentralisasi menurut Smith sebagai : pendidikan politik; latihan kepemimpinan politik; stabilitas politik; kesamaan politik; akuntabilitas; daya tanggap (responsivitas); efisiensi dan efektivitas.
Tujuan utama dari desentralisasi dan eksistensi pemerintahan daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi masyarakat. Pelayanan publik tersebut disediakan oleh pemerintahan daerah dan dibiayai oleh pajak dan retribusi yang dibayarkan oleh masyarakat lokal maupun dari pembiayaan yang berasal dari pemerintah pusat.
Beberapa pelayanan publik sudah diatur oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah (statutory services). Dalam pelayanan publik yang seperti ini pemerintah daerah tidak memiliki otonomi untuk membuat policy (membuat pengaturan) dan hanya bertugas melaksanakannya, meskipun hal ini tidak berarti bahwa pemerintah daerah hanya menjadi agen dari pemerintah pusat.
Beberapa pelayanan publik dapat disediakan sendiri oleh pemerintahan daerah secara otonom (discretionary services). Dalam hal ini pemerintahan daerah memiliki diskresi yang luas untuk mengatur dan melaksanakan pelayanan publik.
Esensi dari otonomi daerah adalah kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya.
Dalam prakteknya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan daerah merupakan “lobbyism” atau “corporatism” antara politisi, birokrat, dan pengusaha.
Kaitan antara desentralisasi dan pelayanan publik : (a) Masyarakat dapat lebih mudah berpartisipasi dalam pembuatan keputusan pada tingkat lokal, karena langsung  berpengaruh terhadap masyarakat; (b) Komunikasi dan informasi antara pemerintah dan masyarakat akan lebih intens dan mudah; (c) Performance pemerintah daerah akan lebih akuntabel karena kesadaran dan kepercayaan masyarakat yang tinggi; (d) Salah satu fungsi dari desentralisasi adalah penguatan lembaga-lembaga lokal.
Dalam prakteknya, desentralisasi seringkali dilakukan dengan mempergunakan perspektif supply side atau perspektif pihak yang memberikan desentralisasi.
Pendekatan supply side dalam desentralisasi telah menyebabkan beberapa kelemahan, yaitu : (a) kesenjangan kapasitas sistem pemerintahan dan masyarakat di tingkat lokal; (b) mengurangi motivasi masyarakat untuk berpartisipasi; (c) pendekatan supply side dalam desentralisasi juga mengurangi tingkat legitimasi dan akseptansi masyarakat terhadap pemerintah daerah; (d) akibat dari poin a sampai poin c, seringkali akhir dari program desentralisasi adalah resentralisasi.
Kelemahan-kelemahan desentralisasi yang mempergunakan pendekatan supply side, telah menyebabkan perlunya melakukan rekonstruksi pemikiran desentralisasi yang berbasis kepada demand side. Sebuah pendekatan yang tidak didasarkan pada sanksi dan otoritas pemerintah pusat dan pemerintahan daerah semata, melainkan kepada pengorganisasian sendiri (self organizing), jaringan yang stabil antara institusi dan aktor-aktor di tingkat lokal. Pendekatan yang menggeser interaksi dari kekuasaan dan kontrol kepada pertukaran informasi, komunikasi dan persuasi. Model pendekatan desentralisasi yang berbasis kepada demand side akan memberikan ruang yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan Peraturan Daerah : (a) Keharusan memiliki kewenangan; (b) Kesesuaian bentuk dan jenis produk hukum; (c) Keharusan mengikuti tata cara tertentu diundangkan dalam lembaran daerah; (d) Tidak bertentangan dengan hirarki peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan/Keputusan Kepala Daerah pada prinsipnya dapat dibagi dua, yaitu Pengawasan Represif dan Pengawasan Preventif.
Proses pembuatan Peraturan Daerah pada prinsipnya terdiri dari :
a)    Proses identifikasi dan artikulasi, merupakan proses pencarian dan pemahaman kebutuhan dan masalah yang ada di lapangan yang secara potensial dapat atau harus diatur dalam Peraturan Daerah.
b)   Proses seleksi, terhadap usul Raperda dilakukan oleh DPRD.
c)    Proses sosialisasi, terhadap hasil seleksi awal disampaikan kembali kepada masyarakat dan seluruh stakeholder terkait guna mendapatkan masukan dan kritik.
d)   Proses legislasi. Setelah mendapatkan persetujuan baik dari DPRD maupun Kepala Daerah, Raperda ditetapkan oleh Kepala Daerah dan diundangkan dalam lembarand daerah.
e)    Proses implementasi dan supervisi. Dalam waktu 30 hari sejak sebuah Raperda disetujui bersama antara Kepala Daerah dan DPRD, dan Kepala Daerah belum menetapkan Peraturan Daerah tersebut, maka Peraturan Daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan dalam Lembaran Daerah.    
Secara internal tahapan Pembicaraan dalam DPRD akan meliputi hal berikut :
Ø  Tahap I, penjelasan atas Raperda oleh Kepala Daerah atau oleh Pimpinan Komisi atas nama DPRD.
Ø  Tahap II, Rapat Paripurna : pandangan umum dan jawaban oleh fraksi atau Kepala Daerah.
Ø  Tahap III, Rapat Komisi : antara komisi DPRD dan wakil Pemerintah Daerah.
Ø  Tahap IV, Rapat Paripurna : Pandangan akhir fraksi, pengambilan keputusan dan sambutan Kepala Daerah terhadap Peraturan Daerah.

No comments:

Post a Comment