ASAS-ASAS HUKUM ADAT
Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan – adat kebiasaan yang mempunyai akibat hukum.
Hukum Adat merupakan terjemahan dari adatrecht yang diperkenalkan oleh Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam De Atjehers 1893. Penemu hukum adat adalah Prof. Cornelis van Vollenhoven (Bapak Hukum Adat), penulis buku Het Adatrecht van Nederlands Indie.
Berlakunya hukum adat tampak pada penetapan petugas hukum, seperti : putusan kepala adat, putusan hakim perdamaian desa, dsb sesuai kompetensi masing-masing.
Pedoman keputusan didasarkan pada nilai-nilai universal : asas gotong royong, fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat, asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum (musyawarah), dan asas perwakilan dan permusyawaratan.
19 lingkaran hukum adat menurut van Vollenhoven :
1. Aceh
2. Tanah Gayo, Alas, dan Batak beserta Nias
3. Daerah Minangkabau beserta Mentawai
4. Sumatera Selatan
5. Daerah Melayu (Sumatera Timur, Jambi, dan Riau)
6. Bangka dan Belitung
7. Kalimantan
8. Minahasa
9. Gorontalo
10. Tanah Toraja
11. Sulawesi Selatan
12. Kepulauan Ternate
13. Maluku, Ambon
14. Irian (Papua)
15. Kepulauan Timor
16. Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Besar)
17. Jawa Tengah dan Jawa Timur (beserta Madura)
18. Surakarta dan Yogyakarta
19. Jawa Barat
Persekutuan hukum adalah kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal, serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun kekayaan immateriil.
3 struktur persekutuan hukum di Indonesia :
1. Persekutuan Hukum Genealogis, yaitu faktor yang melandaskan pada pertalian darah satu keturunan, atau apabila keanggotaan seseorang anggota tergantung dari keturunan yang sama, misalnya daerah Toraja. Dalam hal ini terdapat 3 macam dasar pertalian keturunan, yaitu (a) pertalian darah menurut garis keturunan Bapak (patrilineal), seperti suku Batak, Nias, dan Sumba ; (b) pertalian darah menurut garis keturunan Ibu (matrilineal), seperti Minangkabau ; (c) pertalian darah menurut garis keturunan Bapak dan Ibu (Parental), seperti Jawa, Sunda, Aceh dan Dayak.
2. Persekutuan Hukum Teritorial, yaitu faktor yang terikat pada suatu daerah tertentu, dan keanggotaan seseorang tergantung pada tempat tinggal di lingkungan daerah persekutuan itu atau bukan. Ada 3 persekutuan hukum teritorial, yaitu (a) persekutuan desa – apabila ada segolongan orang terikat pada suatu tempat kediaman, juga apabila didalamnya termasuk dukuh-dukuh yang terpencil yang tidak berdiri sendiri. Adapun para pejabat pemerintahan desa boleh dikatakan semuanya bertempat tinggal di dalam pusat kediaman itu. Contoh : desa di Jawa dan di Bali. (b) persekutuan daerah – apabila di dalam suatu daerah tertentu terletak beberapa desa yang mempunyai tata susunan dan pengurus sendiri-sendiri yang sejenis, berdiri sendiri-sendiri, tetapi semuanya merupakan bagian bawahan dari daerah. Daerah memiliki harta benda dan menguasai hutan dan rimba atau dikelilingi tanah yang ditanami dan tanah yang ditinggal penduduk desa itu. Contoh : Kuria di Anggola dan Mandailing yang mempunyai hutan-hutan. (c) perserikatan (beberapa kampung) – apabila beberapa persekutuan kampung yang terletak berdekatan mengadakan permufakatan untuk memelihara kepentingan bersama, misalnya akan mengadakan perairan untuk memelihara keperluan bersama maka diadakan suatu badan pengurus yang bersifat kerjasama antara pengurus-pengurus desa itu. Adapun wewenang pengurus kerjasama itu tidak lebih tinggi dari pengurus desa masing-masing. Kekuasaan tertinggi terhadap tanah-tanah di dalam daerah desa/kampung itu ada pada tangan pengurus desa/kampung yang bersangkutan. Contoh : Perserikatan Huta-huta di suku Batak.
3. Persekutuan Hukum Genealogis-Teritorial, yaitu apabila keanggotaan persekutuan didasarkan pada satu kesatuan keturunan, sekaligus juga berdiam pada daerah yang bersangkutan. Persekutuan ini dibagi dalam 5 jenis, yaitu (a) suatu daerah/kampung didiami hanya oleh satu bagian klan – misal di pedalaman pulau-pulau Enggano, Buru, Seram, dan Flores (b) dalam suatu daerah tertentu semula didiami oleh satu marga, kemudian terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk menjadi warga badan persekutuan hutan daerah itu – misal daerah Tapanuli (c) dua klan yang saling bergabung disebabkan oleh yang semula ditaklukkan oleh klan yang datang kemudian. Klan yang asli tetap menguasai tanah-tanah daerah itu, sedangkan kekuasaan dipegang oleh klan yang baru – misal Sumba Tengah dan Sumba Timur (d) dalam suatu daerah semua golongan berkedudukan sama dan merupakan badan persekutuan teritorial (Nagari). Nagari itu terbagi dalam daerah-daerah golongan dan tiap golongan mempunyai daerah sendiri – misal beberapa nagari di Minangkabau dan marga di Bengkulu (e) suatu nagari berdiam beberapa klan yang tidak bertalian famili – misal nagari di Minangkabau dan daerah Rejang (Bengkulu)
Sistem perkawinan adat :
1. Sistem endogami – orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku atau keluarganya sendiri. Contoh : Toraja.
2. Sistem eksogami – orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya. Contoh : Daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Sumatera Selatan, Minangkabau, Buru dan Seram.
3. Sistem eleutherogami – tidak mengenal larangan atau keharusan seperti halnya kedua sistem di atas. Larangan yang ada biasanya menyangkut masalah nasab (keturunan paling dekat) dan musyawarah (pariparan). Contoh : Aceh, Sumatera Timur, Bangka, Belitung, Kalimantan, Minahasa, Ternate, Sulawesi Selatan, Papua, Timor, Bali, Lombok, dan seluruh Jawa dan Madura.
Sistem perkawinan tidak dapat dipisahkan dengan sifat kekeluargaan. 3 susunan kekeluargaan di Indonesia :
1. Susunan kekeluargaan patrilineal. Sistem ini menggunakan bentuk perkawinan, yaitu kawin jujur. Pemberian jujur oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dimaksudkan sebagai lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si isteri dengan orang tuanya, nenek moyangnya, saudara sekandung, serta kerabat persekutuannya. Si isteri masuk dalam lingkungan keluarga suaminya. Misalnya Tapanuli.
2. Susunan kekeluargaan matrilineal. Sistem ini menggunakan bentuk perkawinan semendo, yaitu suami tetap masuk pada keluarganya sendiri, tetapi dapat bergaul dengan keluarga isterinya sebagai urang semendo. Namun anak-anak keturunannya masuk pada keluarga isteri, dan ayah pada hakikatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
3. Susunan kekeluargaan parental. Pada sistem ini, kedua belah pihak dapat masuk menjadi anggota keluarga keduanya, sehingga dapat dikatakan masing-masing mempunyai 2 keluarga, yaitu kerabat suami dan kerabat isteri.
Hukum adat waris adalah norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan, baik yang materiil maupun immateriil yang dapat diserahkan kepada keturunannya, serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara, dan proses peralihannya.
3 sistem kewarisan adat :
1. INDIVIDUAL cirinya adalah harta peninggalan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli waris. Misalnya dalam masyarakat bilateral Jawa.
2. KOLEKTIF cirinya adalah harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam badan hukum untuk harta tersebut, disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-bagikan. Misalnya pada masyarakat matrilineal Minangkabau.
3. MAYORAT. Cirinya adalah harta peninggalan diwariskan keseluruhannya (sebagian besar sejumlah harta pokok dari satu keluarga) pada seorang anak saja. Misalnya : di Bali terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di tanah Semendo di Sumatera Selatan yang terdapat hak mayorat anak perempuan tertua.
Hukum tanah adalah kaidah-kaidah yang berkenaan dengan peraturan tanah, dalam hal penetapan hak, pemeliharaan, pemindahan hak, dan sebagainya.
Kaidah pokok > hak ulayat (beschikkingrecht) > van Vollenhoven > hak pertuanan > arti keluar dan kedalam
Hak keluar berarti masyarakat yang mempunyai hak itu dapat menolak orang lain berbuat demikian. Hak kedalam berarti masyarakat itu mengatur pemungutan hasil oleh anggota-anggotanya, berdasarkan atas hak dari masyarakat secara bersama dan agar masing-masing anggota mendapatkan bagian yang sah.
Dalam hukum tanah, perjanjian jual beli dapat mengandung 3 maksud, yaitu :
1. Menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran tunai sejumlah uang sedemikian rupa, sehingga orang yang menyerahkan tetap ada hak atas kembalinya tanah itu kepadanya dengan jalan membayar kembali sejumlah uang yang sama. Di Minangkabau disebut menggadai, di Jawa disebut adol sende, di Sunda disebut ngajual akad.
2. Menyerahkan tanah untuk menerima tunai pembayaran uang tanpa hak menebusnya. Jadi untuk selama-lamanya. Di Jawa-adol plas, runtumurun, pati bogor ; Kalimantan-menjual jaja.
3. Menyerahkan tanah untuk menerima tunai pembayaran uang dengan janji bahwa tanah akan kembali lagi kepada pemiliknya tanpa perbuatan hukum lagi, yaitu sesudah berlaku beberapa tahun panenan (menjual tahunan). Di Jawa disebut adol ayodan.
No comments:
Post a Comment